KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-NYA kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini
yang tepat pada waktunya yang berjudul “HUKUM PERJANJIAN”.
Makalah
ini berisikan tentang informasi tentang HUKUM PERJANJIAN.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Untuk itu saya berharap agar pembaca dapat memakluminya tentang segala
kekurangan yang ada
dalam Makalah ini. Dan saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu memberikan do’a, dukungan, penjelasan, dan terutama
untuk :
1. Tuhan
YME dengan rahmat-NYA, penulis dapat menyelesaikan dan mempermudah pengerjaan
makalah ini.
2. Ibu YUNNI YUNIAWATY selaku Dosen Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi (Softskill).
3. Kedua
Orang Tua, keluarga dan teman-teman atas do’a serta dukungan dan motivasi yang
telah diberikan kepada saya.
Atas
segala kekurangan dalam penyusunan Makalah ini, saya sangat mengharapkan
kritikan, saran, dan pengarahan dari pembaca yang sifatnya membangun demi
perbaikan. Semoga bermanfaat.
Bekasi, Mei 2013
STANDAR KONTRAK
-
Adalah perjanjian yang isinya telah
ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang
digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen
tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan).
-
perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman).
-
is one in which there
is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but
to accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
-
Perjanjian baku adalah perjanjian yang
dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian
dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta
dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui
dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk
melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan,
biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak
terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1.
Kontrak standar umum artinya kontrak
yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada
debitur.
2.
Kontrak standar khusus, artinya kontrak
standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak
ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Bila
dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku
atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak
baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1.
Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi
ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang
usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku
dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman,
melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara
bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan,
perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada
persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang
yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau
menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku
dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui
pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui
isinya.
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of
International Comercial Contract).
Prinsip
UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak
pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip
kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah.
Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka
berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal
2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat
baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan
secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan
tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan
ini mengatur tentang :
a.
Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b.
Pengertian kontrak baku.
3.
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan
dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan
oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas
menerimanya.
Untuk
menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan
bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.
Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara
persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut
terakhir dinyatakan berlaku.
5.
Pasal 2.22, Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar
dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu
kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan
persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali
suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan
untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan
untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6.
UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dengan telah dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku
merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan
oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak
baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang
berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku
dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-macam kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP
tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah
penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak
sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan
perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak
dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik,
kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur,
begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian
yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang
lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan
cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti
cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut
ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada
perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian
timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat
batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik
saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi
seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP.
Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian
tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan
menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak
bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak
bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,
perdamaian, dll.
Sementara yang dimaksud dengan
kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam
masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum
perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan,
franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan
menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang
dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang
terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan,
kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus
dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang
dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau
dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan
lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan
dalam tulisan.
Syarat sahnya perjanjian
Berdasarkan pasal 1320 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat
sahnya suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
·
Kesepakatan.
Kesepakatan
merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan titik temu dari dua kepentingan
yang berlawanan. Proses ini umumnya diawali dengan pemberitahuan
tentang maksud oleh satu pihak kepada pihak yang lainnya (intent),
kemudian pihak lainnya akan membalas dengan
mengajukan penawaran (offer). Apabila penawaran tersebut
disetujui maka pihak yang ditujuh penwaran tersebut akan menerimanya
(acceptance).
Proses kesepakatan ini harus dilakukan secara bebas tanpa adanya
kekhilafan atau paksaan, ataupun penipuan (Lihat KUHPerdata Pasal 1321).
Apabila sebaliknya terjadi dimana suatu kesepakatan diberikan secara
tidak bebas maka kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjiannya
menjadi dapat dibatalkan (tidak terpenuhi syarat subjektif).
·
Kecakapan.
Sehubungan dengan syarat kecakapan ini, undang-undang
(KUHPerdata Pasal 1329) beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah
cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia oleh undang-undang dinyatakan
tidak cakap (general legal presumption) . Mengenai ketidakcakapan ini
KUHPerdata Pasal 1330 menyatakan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian adalah “orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan, perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh
undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu“. Selanjutnya sesuai
KUHPerdata Pasal 330, yang dimaksudkan dengan orang yang belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai usia 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Berdasarkan pengertian ini maka apabila seorang yang belum
berusia 21 tahun menikah maka ia dinyatakan telah dewasa, begitu juga apabila
ia bercerai pada usia belum genap 21 tahun maka ia tetap dinyatakan telah
dewasa. Sedangkan yang masuk dalam golongan orang-orang ditempatkan dalam
pengampuan sesuai KUHPerdata Pasal 433 adalah setiap orang dewasa yang
selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, sekalipun ia
kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga
ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya.
Mengenai ketidakcakapan perempuan yang telah kawin dapat
dilihat pada KUHPerdata Pasal 108 yang berbunyi ” Sang istri, sekalipun dia
kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat
menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara
cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin
tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat
akta atau perjanjian tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima
pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari
suami” dan Pasal 110 yang berbunyi “Istri tidak boleh tampil dalam pengadilan
tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau
dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan
bebas”.
Akan tetapi berdasar Surat Edaran MA No. 3 tahun 1961 kedua
pasal tersebut tidak berlaku lagi. Dengan demikian maka perempuan yang telah
kawin tidak lagi masuk dalam kategori orang yang tidak cakap dalam membuat
Perjanjian.
·
Suatu hal tertentu.
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu di sini adalah
merupakan objek dari suatu perjanjian atau yang disebut juga dengan
prestasi. Menurut KUHPerdata Pasal 1332, hanya barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian. Selanjutnya
KUHPerdata Pasal 1333 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai objek berupa suatu barang yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya. Jumlah barang tersebut tidak perlu pasti, asal saja jumlah
itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Selain itu, terkait dengan barang yang menjadi objek
perjanjian ini, KUHPerdata Pasal 1334 menyatakan bahwa barang yang baru ada
pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu Perjanjian. Akan tetapi
seseorang tidak diperkenankan untuk metepaskan suatu warisan yang belum
terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan
itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang
menjadi objek perjanjian itu.
·
Sebab yang halal.
Penjabaran
mengenai sebab yang halal dapat dijumpai dalam KUHPerdata Pasal 1337 yang
menyatakan bahwa suatu sebab adalah tidak halal, jika sebab itu dilarang
oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya qpabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak
ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya
perjanjian tersebut batal demi hukum.
Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan
lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim.
Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti
perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah
pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh
pihak yang tidak mampu – termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain,
apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat
para pihak.
Kapan
perjanjian mulai dinyatakan berlaku?
Pada prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas
konsensualisme. Artinya bahwa perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para
pihak. Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika
salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi.
Kesimpulan
; perbedaan antara perikatan dengan perjanjian, perikatan adalah suatu
pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah sesuatu yang kongkret dan
merupakan peristima. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki
oleh dua pihak yang melakukan suatu perjanjian, sedangkan perikatan tidak lahir
dari undang undang diluar kemauan pihak yang bersangkutan. Pihat tersebut
dikenal dengan DEBITUR dan KREDITUR.
Saat Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu
perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara
kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek
perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua
pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang
dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara
bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Menetapkan
kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
·
kesempatan penarikan kembali penawaran;
·
penentuan resiko;
·
saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
·
menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata
dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir
pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap
obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat
konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak
atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan
memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat
sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring)
antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran
(offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak
dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang
menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat
lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah
ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat
pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori)
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori)
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya
kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya
kontrak.
c. Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi
diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban,
tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok
adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang
dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak
Pembatalan dan Pelaksanaan suatu
perjanjian
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan,
yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena
adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan
dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1)
Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2)
Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3)
Harus dengan putusan hakim (verdict)
Pelaksanaan Perjanjian
Yang dimaksud dengan pelaksanaan
disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan
barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang
dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan
penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian
pembayaran.
Pembayaran
1.
Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur
yang menjadi pihak dalam perjanjian
2. Alat bayar yang digunakan pada
umumnya adalah uang
3. Tempat pembayaran dilakukan sesuai
dalam perjanjian
4. Media pembayaran yang digunakan
5. Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan Barang
Yang dimaksud dengan lavering atau transfer
of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya
kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang
tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai
berikut:
1.
Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2.
Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang
sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3.
Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4.
Penyerahan harus nyata (feitelijk)
Penafsiran
dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak
telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati
itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan
keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain.
Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun
pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang
memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu
dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian
keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat
perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah
satu pihak biasanya terjadi karena:
·
Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak
diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
·
Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua
mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
·
Terkait resolusi atau perintah pengadilan
·
Terlibat hukum
·
Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam
melaksankan perjanjian
Pelaksanaan
perjanjian
Itikad
baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk
menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus
megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk
memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan
hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya
perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat
pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara
sepihak saja.
Referensi
:
buku
paket Diktat Gunadarma " Aspek Hukum dlam Ekonomi "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar